Archives for Juli 2008

Sabtu, 05 Juli 2008

Konsep Pembangunan Daerah

konsep pembangunan

Essensi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Thursday, September 27, 2007, 03:39 AM [konsep pembangunan]


Pendahuluan

Dokumen perencanaan untuk pemerintah daerah ataupun pusat dari waktu ke waktu selalu terjadi perubahan. Pernah dikenal satu perencanaan yang berupa GBHN/D yang menggariskan kebijakan dan arah pembangunan untuk jangka 20 tahun kedepan dan ditindak lanjuti dengan RePelita, yang diterjemahkan sebagai rencana pembangunan lima tahun. Dalam kurun waktu berikutnya, terjadi satu perobahan yang relative drastic, yakni hanya berisi rencana lima tahunan yang disebut sebagai Renstra (Dinas), tanpa dikenal sebutan rencana pembangunan daerah, karena didalamnya hanya berupa rencana pembangunan yang hanya menggunakan anggaran Dinas di daerah. Berkembang dari kondisi tersebut, selanjutnya dikenal adanya dokumen perencanaan yang disebut RPJMD, Rencana Pembangunan jangka Menengah baik di Pusat maupun Daerah, tanpa ada dokumen jangka panjangnya.
Dengan UU 25 tahun 2004 yang merupakan basis regulasi prosedur perencanaan pembangunan di Indonesia saat ini, merupakan upaya penggabungan dari pengalaman yang telah dilalui di atas, dimana dokumen perencanaan yang ada terdiri dari :
 Rencana pembangunan jangka panjang, yang dikenal dengan RPJP baik di pusat maupun di daerah
 Rencana pembangunan jangka menengah, yang dikenal dengan RPJMD baik di pusat maupun di daerah
 Rencana kerja gabungan lembaga/kementerian (RKP) di pusat, dan pemerintah daerah (RKPD) di daerah
 Rencana Strategis tiap lembaga/kementerian di Pusat dan SKPD di Daerah
 Rencana kerja lembaga/kementrian di pusat, dan SKPD di daerah
Dalam periode transisi atau periode pengkristalan pemahaman prosedur dan konsep, berbagai variasi interpretasi dan pendekatan dalam penyusunan tiap dokumen perencanaan diatas telah terjadi. Disatu sisi, dapat dikatakan sebagai satu kewajaran, dan disisi lain dari sudut pandang pemerintah pusat memberikan indikasi perlunya satu keseragaman, minimal dari segi pemahaman essensi dan pendekatanya.
Tulisan ini, keseluruhan diniatkan untuk memberikan satu pemahaman yang mendasar mengenai makna dan peran keberadaan satu dokumen perencanaan jangka panjang (RPJP) terutama bagi daerah, yang notabene juga relative masih baru dan hadirnya setelah ada pemahaman yang mengental pada RPJMD.

Menentukan Masa Depan Daerah

Satu dokumen perencanaan yang berorientasi jangka panjang, pada hakekatnya identik dengan upaya merekayasa atau mendesain masa depan bagi daerah yang bersangkutan.
Banyak pihak menyangsikan keberadaan dokumen ini terutama pada pengawalan komitmennya dikaitkan dengan periode waktu yang cukup panjang yang melebihi jangka waktu satu periode kepemerintahan (5 tahunan). Atas dasar ini, pertanyaan yang ada berupa :

Apa perlunya mempunyai satu RPJP bagi satu daerah ?

Terlepas dari factor komitmen yang dimaksud diatas, satu perencanaan jangka panjang bagi satu daerah mempunyai banyak manfaat dan keperluan yang melatarbelakanginya setidaknya :
a. Terkait dengan karakteristik atau perilaku dari para pelaku pembangunan, khususnya pihak swasta yang notabene berkontribusi terhadap pembangunan baik perumahan, industri atau lainya sekitar lebih dari 60 % dari keseluruhan pembangunan, menjadi sangat perlu sekali adanya satu kepastian.
b. Kepastian diatas salah satunya berupa kejelasan dan kepastian arah atau rumusan masa depan daerah yang di formalkan baik dalam bentuk dokumen Rencana Tata Ruang ataupun Visi Pembangunan Jangka Panjang daerah.
c. Pihak Swasta yang mampu mendukung pertumbuhan melalui investasi di daerah tersebut, pada umumnya bersifat jangka panjang. Berbagai perhitungan BEP (break even point) untuk satu kegiatan investasi industri misalnya menuntut adanya perhitungan waktu yang lebih dari 5 atau 10 tahun. Untuk itu, keberadaan satu Visi pembangunan daerah jangka panjang yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang daerah secara significant akan memberikan rasa aman dan kepastian (predictable) yang selanjutnya akan mampu mendorong terbangunya atmosphere yang kondusive bagi berbagai kegiatan investasi besar (jangka panjang). Tanpa kepastian jangka panjang dan dengan dinamika politik yang tinggi atau setiap lima tahun terjadi perubahan arah karena keberadaan visi hasil PILKADA, jelas memberikan atmosphere yang tidak mendukung atau kondusive terhadap perkembangan investasi di daerah.
d. Implikasi lanjutan dari rasa aman dan kepastian diatas akan muncul satu peluang yang akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dan hal ini jelas akan sangat dibutuhkan bagi satu daerah.
e. Arah pembangunan jangka panjang bagi satu daerah yang dimaksud diatas setidaknya akan terdiri dari (a) visi, (b) misi dan (c) agenda pembangunan yang terbagi dalam 5 tahunan.

Mengapa harus mempunyai kejelasan fokus ?

Pertumbuhan satu daerah akan terjadi apabila terjadi mekanisme 'transaksi' dengan daerah lain. Ada hubungan pasar diantara kedua atau lebih daerah, apakah satu daerah akan berfungsi sebagai suply atau sebaliknya sebagai konsumer.
Pembentukan persyaratan minimal bagi tumbuhnya satu daerah diatas hanya akan terjadi apabila di daerah-daerah tersebut mempunyai 'daya tarik' ekonomi dan saling komplementair satu sama lain. Persoalan berikutnya adalah terlalu seringnya pemerintah kota atau kabupaten atau Propinsi untuk tidak memperhatikan hal ini, sehingga orientasi dari pembangunan yang terjadi di daerahnya menjadi tidak berfokus yang berikutnya memberi implikasi tidak jelasnya arah yang mau dituju.
Sebaliknya, manakala di satu daerah mempunyai kejelasan arah atau fokus untuk keseluruhan kegiatan pembangunanya, relativ atmosphere nya akan terasakan bagi pihak-pihak lain khususnya para calon investor (agen of growth).
Kejelasan arah disini indikasinya dapat direpresentasikan dalam bentuk :
- Rumusan visi yang mampu mengundang perhatian dan sekaligus memotivasi pelaku-pelaku pembangunan baik di daerah yang bersangkutan ataupun daerah lain.
- Komunikasi dengan publik melalui berbagai instrumen yang mendeskripsikan dokumen perencanaan pembangunan yang dapat di akses oleh publik
- Langkah-langkah pembangunan yang dilakukan secara konsisten terhadap fokus yang telah ditetapkan melalui berbagai indikator capaian target.
- Berbagai kebijakan yang mendukung secara kondusiv terhadap upaya atau langkah-langkah konsisten pencapaian fokus yang ditetapkan.

Dengan kondisi seperti digambarkan diatas keseluruhan, satu daerah akan jauh relativ lebih mudah menarik investor untuk melakukan investasi bagi pembangunan di daerah tersebut, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan bagi daerah tersebut. Dan itu semua adalah makna utama dari pentingnya satu kejelasan fokus atau arah pembangunan daerah.
Arah tersebut yang dimaksud diatas, dalam Undang-Undang 25 tahun 2004 disebut sebagai Visi pembangunan Daerah.


Visi Pembangunan Daerah

Pemahaman mengenai rumusan visi pembangunan daerah disini adalah satu langkah awal yang paling strategik untuk 'mendesain' pembangunan yang akan dilakukan di daerah tersebut, pada saat pemahaman terhadap makna dan eksistensi dari visi tersebut tepat dan benar.
Dari fakta yang ada, meskipun sudah diamanahkan dalam UU25/04 tetapi minus definisi dan fungsi serta kemanfaatanya, maka rumusan visi yang terjadi di beberapa daerah menjadi kurang effektiv dan bermakna.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, setiap pemerintah diamanatkan untuk melayani warganya baik dalam memberikan pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, kemanaan dan berbagai jenis kebutuhan dasar lainya, disamping juga harus memikirkan bagaimana


agar berbagai potensi resources yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong pertumbuhan daerah tersebut.

Dalam kaitanya dengan fokus pembangunan daerah, jelas orientasinya harus ke peluang untuk mengembangkan potensi sumber daya ada, dan bukan kepada peningkatan pelayanan dasar. Hal ini disebabkan karena, pelayanan dasar kepada masyarakat adalah kuajiban utama satu pemerintah kota/kabupaten/provinsi.
Prioritas utama bagi satu daerah dalam mengalokasikan budgetnya adalah kepada peningkatan pelayanan(dasar) masyarakat(nya), dan berikutnya manakala kapasitas keuangan masih memungkinkan, barulah diorientasikan kepada pertumbuhan daerah. Meskipun kondisi diatas, sepenuhnya adalah kebijakan yang dapat diambil secara otonom oleh daerah masing-masing.

(box : lihat di file guritno@gtz.or.id)


Uraian dalam box : ilustrasi diatas, secara diagramatik dapat terlihat pada gambar : Komponen Tugas Pemerintah diatas.

Bidang atau area yang dapat dijadikan modal bagi perumusan visi pembangunan daerah (jangka panjang) adalah area / bidang yang terkait dengan bidang-bidang non pelayanan dasar, seperti misalnya pariwisata, kehutanan, pertambangan dan sejenisnya.
Dengan demikian, dalam keadaan normal, rumusan visi pembangunan daerah selayaknya tidak lagi berorientasi pada area pelayanan dasar (kecuali pada kondisi daerah seperti yang diilustrasikan dalam box), tetapi lebih kepada area dimana bila diekplorasi melalui invetasi, akan dapat memberikan multiplier ekonomi yang mampu meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah untuk perbaikan pelayanan dasar.
Itu semua terkait dengan rumusan visi untuk merancang masa depan daerah atau secara formal disebut dengan Rencana Jangka Panjang Daerah atau RPJPD.

Bila ditelusuri secara mendetil, didalam dokumen perencanaan di daerah seperti di tetapkan dalam UU 25 tahun 2004, rumusan visi ternyata tidak hanya ada di dokumen RPJPD saja tetapi juga pada dokumen RPJMD - Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah, serta juga ada di tiap-tiap SKPD yang dituangkan dalam Renstra SKPD.
Pada saat pemahaman mengenai makna visi di tiap posisi diatas tidak jelas atau disamaratakan, maka persoalan akan muncul, setidaknya fungsi dari keberadaan visi tersebut menjadi sia-sia, dan keseluruhan manajemen menjadi tidak effektiv.
Atas dasar itu, dibawah ini digambarkan perbedaan fungsi dan makna dari tiap jenis rumusan visi sesuai posisi yang ada sebagai berikut :
a. Visi pada dokumen RPJPD, seperti telah dijelaskan dimuka, berfungsi sebagai kompas untuk menggerakkan perekonomian daerah agar daerah tumbuh berkembang. Untuk itu, materi dasar penyusunannya yang diperlukan hanya potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan .
b. Visi pada dokumen RPJMD, berfungsi untuk memberikan arah yang nyata untuk 5 (lima) tahun kedepan sebagai konsekwensi dari sasaran 5 tahunan yang telah ditetapkan pada dokumen RPJPD selain juga sebagai upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi yang sering berupa janji politik hasil PILKADA ditambah dengan prioritas nasional yang harus diakomodasi di daerah.
c. Visi pada dokumen Renstra SKPD, merupakan rumusan visi yang berorientasi untuk mengatasi target program yang tertuang dalam RPJMD , terkait dengan masing-masing tanggung jawab SKPD
Dari kondisi diatas, jelas dapat dipahami bahwa ketiganya mempunyai makna dan cakupan yang berbeda satu sama lain, dan bahkan informasi yang diperlukan untuk menyusunyapun akan berbeda. Unsur minimal yang dibutuhkan untuk menyusun rumusan masing masing visi serta tujuan dan cakupan materinya, dapat terlihat pada tabel dibawah :


(lihat tabel : Makna visi di Tiap Posisi)

Bagaimana cara merumuskan visi ?
Telah banyak instrument atau pendekatan atau bahkan metodologi untuk merumuskan satu visi pembangunan. Tetapi manakala konsep participatory menjadi pertimbangan untuk diakomodasi di dalam proses tersebut, maka terjadi perbedaan yang significant dari langkah-langkah atau cara yang harus dilakukan dalam merumuskan visi tersebut.
Mekanisme yang saat ini sudah pernah dilaksanakan, setidaknya di kota Sawahlunto dan juga kota Mataram , dimana keduanya menggunakan pendekatan dan referensi yang sama .
Secara diagramatis dapat digambarkan secara umum sebagai berikut , lihat diagram dibawah
Diagram : Penyusunan Visi pembangunan kota secara partisipatoris

(kontak ke guritno@gtz.or.id)

Melalui suatu proses dimana seluruh stakeholder di fasilitasi setidaknya untuk mempunyai kesamaan pandangan mengenai pengertian, manfaat dan tata kerja penyusunan, dan selanjutnya melaksanakan tata kerja yang telah disepakati.


Setidaknya terdapat saru kriteria untuk rumusan visi, yakni (a) spesifik yang berimplikasi pada competitive advantage , (b) merangsang pertumbuhan ekonomi dan (c) phenomenanya nyata.

Bagaimana dengan MISI ?

Siapa yang harus didahulukan antara visi dan misi ? Jawabnya sangat tergantung pada referensi yang digunakan, tetapi pada dasarnya untuk menjawab ini dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut :
Bagi pihak-pihak yang akan mendirikan satu Firm, pertanyaan awalnya adalah :
Apa Misi dari Badan (usaha) yang akan didirikan tersebut ? hal ini sama dengan menjawab atas pertanyaan Mengapa (apa tujuan) Badan ini di bangun ?
Setelah ada kejelasan terhadap pertanyaan ini, barulah secara internal disusun VISI organisasi tersebut berikut VALUE SYSTEM nya.
Analog dengan keadaan diatas, setiap pemerintah daerah tujuan diadakanya sejak semula sudah diketahui (MISI besarnya sdh jelas), tetapi bagaimana mengelola pemerintah daerah ? Perlu diawali dengan strategi manajemen yakni salah satunya menyusun VISI (pembangunan).
Fakta lebih lanjut adalah seringnya dilakukan penyederhanaan makna misi sehingga pada akhirnya misi itu sendiri tidak berarti apa-apa pada keseluruhan aktivitas manajemen khususnya di pemerintahan. Rumusan misi yang ada selanjutnya, tidak mempunyai atau kurang nyata kaitanya dengan berbagai rumusan kebijakan pembangunan lainya. Sehingga apapun rumusan misi yang ditulis dalam berbagai dokumen perencanaan, pada akhirnya hanyalah sekedar bunga-bunga tulisan dalam satu dokumen formal pemerintah. Hal ini jelas ironi.
Untuk menghindari hal-hal diatas, selayaknya perumusan Misi terkait erat dengan upaya pencapaian Visi dan diartikan selanjutnya sebagai beban tugas dari berbagai unit kerja yang ada.Bagaimana merumuskan dan mendistribusikan beban tugas ke tiap unit kerja, akan menjadi topic bahasan pokok dalam keseluruhan pembahasan perumusan misi sampai ke program atau agenda pembangunan daerah.

Proses perumusan MISI :

(kontak ke guritno@gtz.or.id)


Persepsi tentang misi dan visi
Berbagai literature sering berbeda satu sama lain dalam memaknai kedua istilah tersebut, apalagi dalam upaya menghubungkan keduanya secara terukur.
Sering juga terjadi pemahaman bahwa visi harus lebih dahulu dari misi, atau sebaliknya. Ilustrasi dibawah ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pemahaman terhadap situasi diatas.
Misalnya ada satu keinginan untuk mendirikan perusahaan, maka pertanyaan awal yang ada adalah "untuk apa" didirikan ? Apakah untuk tujuan charity, usaha bisnis dan lain lain. Pertanyaan diatas itulah yang sebenarnya bermakna sebagai misi.
Itu akan terjadi pada kondisi satu perusahaan yang akan didirikan.
Untuk satu organisasi public seperti pemerintah daerah, banyak orang sudah tahu untuk apa organisasi ini didirikan. Sedangkan selanjutnya, dalam pengelolaanya yang selalu akan menggunakan sarana dan prasarana serta sumber dana dari milik public, jelas harus diketahui secara jelas oleh para stakeholdernya (termasuk rakyat pembayar pajak) mengenai ‘ akan dibawa kemana ke pemerintahan ini ?' atau dengan kata lain ‘ akan dijadikan apa daerah ini lewat kepemerintahan yang ada ?'. Inilah selanjutnya disebut sebagai visi.
Bahwa selanjutnya, perlu diturunkan lagi kedalam misi, itu hanyalah persoalan langkah-langkah teknis agar visi dapat terwujud.

Bagaimana mengurai misi berbasis visi ?

Rumusan misi tidak turun secara tiba-tiba, dia memerlukan satu proses yang bukan perenungan, tetapi rational.
Agar rumusan misi terkait secara nyata dengan visi yang ada, maka prasyarat utama adalah adanya kejelasan perkiraan wujud capaian visi yang diharapkan di masa datang .

Contoh :
Capaian visi yang diharapkan di 20 tahun kedepan adalah :
- Terwujudnya pelabuhan ekspor impor
- Tercapainya kemandirian masyarakat di kelurahan
- Dll keinginan yang merefleksikan rumusan visi

Menindak lanjuti daftar keinginan tersebut diatas itulah yang merupakan tugas dari pemerintah dalam mengelola ke pemerintahanya untuk mewujudkan visi yang telah disepakati, dengan cara :
Merumuskan kalimat keinginan tersebut menjadi kalimat tugas.:
- Mewujudkan pelabuhan ekspor impor
- Mencapai kemandirian.....
- Dll sisanya.
Rumusan inilah selanjutnya yang disebut sebagai MISI dari pemerintah daerah.



Terkait dengan rumusan misi yang disusun sementara ini di berbagai dokumen perencanaan daerah, terasa akan ada kesulitan manakala ada pertanyaan :


Apakah ada jaminan kalau seluruh misi dilaksanakan dengan benar akan mencapai visi seperti yang diharapkan ?


Secara logika hal tersebut dengan mudah ditebak jawabanya , yakni tidak dapat. Hal ini disebabkan karena hal-hal sebagai berikut :
1. Kejelasan capaian visi tidak pernah terumuskan dengan baik (terukur)
2. Rumusan misi yang disusun lebih berdasar pada perkiraan dari pada prosedur diatas
3. Di setiap rumusan misi, tidak pernah ditetapkan targetnya (padahal dalam satu tugas strategis, setiap langkah harus dipertimbangkan untuk berkontribusi pada hasil akhir. Setiap sumber daya yang dikeluarkan harus memberi hasil nyata).

Untuk itulah, dalam proses perumusan misi untuk setiap dokumen perencanaan pembangunan daerah, selayaknya mengikuti prosedur yang diuraikan diatas.

Bagaimana agar Misi dapat dilaksanakan ?

Tahap pelaksanaan pada hakekatnya menuntut persyaratan dasar yang berupa :
- Kejelasan tugas yang akan dilaksanakan
- Kejelasan lembaga yang akan mengeksekusi tugas yang dibebankan
- Anggaran dan jadwal, serta
- Letak (locus) kegiatan

Dikaitkan dengan pelaksanaan satu RPJP(D), maka pemahaman terhadap kata 'pelaksanaan' diatas adalah terumuskanya lembaga atau skpd yang harus bertanggung jawab terhadap rumusan tugas atau misi pembangunan kota/kabupaten atau propinsi. Dimana selanjutnya, konsekwensi pada SKPD tersebut adalah menindaklanjutinya berupa menyusun Renstra dan rencana kerja tahunannya.

Dengan demikian, dalam satu dokumen RPJP(D) dikaitkan dengan kelangsungan keberadaanya hal yang dapat merepresentasikan bahwa misi yang ada di tindak lanjuti adalah melalui :
- Penetapan target tiap misi yang ada
- Penjabaran target tiap misi diatas ke dalam lima tahunan
- Scheduling keseluruhan pelaksanaan misi-misi yang ada.

Secara ilustratif, hal ini dapat dilihat pada Tabel berikut :

Tabel : Tahapan Pencapaian Visi pembangunan

No Misi
Pembangunan Pencapaian Visi
Periode I Periode II Periode III Periode III
1 Aktivity-object-target 100 % (a)
20
50
30
2 Aktivity-object-target 100 % (b)
20
30
40
10
3 Aktivity-object-target 100 % (c)
15
30
30
25



Sasaran B = 20
C = 15 A = 20
B = 30
C = 30 A = 50
B = 40
C = 30 A = 30
B = 10
C = 25


Produk Akhir dari satu RPJP

Bagaimanapun juga, satu produk dokumen perencanaan bukanlah satu karya akademik, tetapi karya birokratik yang mengandung unsur kebijakan publik. Dan selanjutnya satu kebijakan publik harus diimplementasikan. Arti lebih lanjut dari kondisi ini adalah bahwa satu RPJP(D) harus mempunyai keterkaitan nyata (tangible) dengan dokumen RPJMD. Setidaknya harus ada indicator sasaran lima tahunan dari tiap misi atau penjabaran dari misi.
Untuk mengurai lebih rinci langkah penjabaran misi diatas, dapat
Sebagai ilustrasi untuk ini, dapat dilihat pada matrik berikut :

(seluruh diagram + tabel, hanya dapat dilihat lewat kontak guritno@gtz.or.id)


Lampiran :

1. Kekuatan satu RPJP sebagai satu dokumen perencanaan akan terwujud manakala :
- Sebagai dokumen perencanaan jangka panjang, telah menggariskan sasaran di tiap lima tahunnya.
- Komponen agendanya benar-benar merupakan agenda yang sepenuhnya terkait dengan upaya pencapaian visi, dan ini pastinya tidak harus seluruh bidang / sector, hanya pilihan yang relevan
- Rumusan visi yang ditetapkan merupakan kesepakatan banyak pihak dan bertumpu pada kekuatan dan peluang yang dipunyai.
- Ada kejelasan mengenai factor (utama) yang akan dikembangkan sebagai pendukung pencapaian visi dalam kurun 20 tahun kedepan yang terdistribusi bebannya dalam 5 tahunan.
- Rumusan Visi yang ada dapat diterjemahkan secara deskriptiv dan visual dengan jelas "apa yang akan terwujud dalam 20 tahun mendatang untuk daearah yang bersangkutan" , agar semua lapisan masyarakat paham dan mengerti ‘apa yang akan dilakukan pemerintah-nya kedepan'. Komunikasi (verbal, tertulis ataupun visual) ini sangat penting untuk membangun satu komitmen dan tata nilai (value system) bersama sebagai pondasi untuk ‘melangkah'.
Secara visual, dapat saja dilakukan penggambaran (landscape, asitektur ) masa depan daerah, untuk mempermudah membangun persepsi dan opini bagi masyarakat banyak, dan sekaligus juga membangun komitmen bagi aparat.

2. Dalam hal RPJP ditindak lanjuti ke RPJMD, hal mendasar yang perlu dilakukan adalah :
o Titik berangkatnya merupakan gabungan antara (i) target yg telah ditetapkan di RPJP(D), (ii) visi yg dimenangkan dalam PILKADA, (iii) isu atau masalah mendesak yg dihadapi, (iv) prioritas nasional
o Penyepakatan makna visi dalam kaitanya dengan Renstra SKPD. kecuali keberadaan visi SKPD dapat dirasionalkan kaitanya dengan keberadaan visi RPJMD atau RPJPD.
o Untuk menghindari inefisiensi program dan anggaran, perlu dikembangkan mekanisme perencanaan yang berbasis working group SKPD.
References :

1. Agenda Pembangunan Jangka Panjang kota Sawahlunto 2020, pemereintah kota Sawahlunto
2. DR. Manfred Poppe and Nele Wasmuth, " Menciptakan Visi Bersama bagi masa depan Kabupaten" , Kabupatehn Dompu
3. Guritno Soerjodibroto " Membuat Arah Pembangunan Kota " , UNDP, 2003.
0 (0 Ratings)
Must Be logged in to bookmark content.
Tags:
Leave a Comment
Pembangunan dan penggusuran
Thursday, August 16, 2007, 05:10 AM [konsep pembangunan]


Guritno Soerjodibroto
0811-890978
guritno@gtz.or.id

Sebagai Negara dengan tradisi agraris dan kelautan, justru para petani dan nelayan mereka hidup dalam impitan kemiskinan. Itu adalah fakta menyakitkan di negeri yang mengenal mitos Dewi Sri, personifikasi tanaman padi, simbolisasi kesejahteraan.
Para petani saat ini sudah banyak yang tidak lagi memiliki tanah. Mereka umumnya menjadi buruh tani.
Ketika panen mereka hanya memperoleh uang Rp 1.750 dari tiap kilogram gabah yang mereka jual. Padahal, pada saat yang sama, harga tiap kilogram pupuk urea telah mencapai Rp 2.000. Tidak mengherankan jika kemiskinan menjadi bagian hidup mereka dan persoalan kepemilikan tanah kembali menguat, gugatan petani tentang itu menjadi marak.
Apalagi ketika aakses terhadap modal produksi itu makin menyempit. Peristiwa yang menarik perhatian terkait dengan hal ini adalah bentrok di antara petani Desa Tanak Awu, 30 kilometer arah timur Mataram, Lombok, minggu 18 Sepetember 2005. Bentrokan itu menyebabkan 11 polisi dan 40 warga luka-luka. Tempat bentroknya adalah tempat pertemuan Serikat Tani sekaligus lokasi rencana pembangunan bandara internasional. Tragedi ini merupakan isyarat represifnya Peraturan Presiden Nomor 36 / 2005 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Meskipun selanjutnya muncul Perpres no 65 tahun 2006 sebagai upaya perbaikan dari Perpres 36 diatas, namun tetap para petani dan pemerhati hak asasi manusia merasa bahwa revisi tersebut ibarat setali tiga uang. Perpres baru ini tetap dianggap berpihak pada kepentingan capital, khususnya dunia infrastruktur.
Pada pasal 13 dalam Perpres itu sebagai satu contoh untuk menggambarkan ketidak berpihakan pemerintah terhadap rakyat, khususnya petani. Pasal ini hanya menyatakan, untuk pelepasan tanah, ganti rugi yang diberikan dapat berupa uang, tanah pengganti, pemukiman kembali dan atau gabungan dari itu atau bentuk ganti kerugian lain. Padahal, harusnya penggantian kerugian mestinya menjamin mereka yang dirugikan untuk tidak mengalami penurunan kualitas hidup (Sumber : www. sekitarkita.com , dikutip dari Kompas 14 Juli 2006). Paradigma penggantian kerugian harus dibalik sedemikian rupa sehingga mereka yang tergusur tidak lagi ‘ berkorban demi kepentingan orang banyak' tetapi ‘ berjasa untuk orang banyak'.
Bila orang banyak akan mendapatkan manfaat karena jasa ‘yang tergusur', maka menjadi sangat layak apabila pemerintah memberikan nilai ganti tanahnya sebagai ‘imbalan atas jasa-jasanya' yang dapat bermakna sebagai ‘hal yang menggembirakan, menyemangati, merangsang dan memotivasi' mereka yang bersedia memberikan jasanya untuk kepentingan orang banyak.
Mengapa hal ini penting untuk dilakukan ?
Pada saat mekanisme perhitungan nilai ganti ‘rugi' tanah selama ini masih berorientasi hanya pada hak-hak ekonomi saja, maka sebenarnya apa yang diterima oleh mereka yang ‘tergusur' bernilai jauh dari pada selayaknya.
Hal ini dapat dilustrasikan sebagai berikut :
- Satu keluarga yang sudah bertempat tinggal di satu tempat lebih dari sepuluh tahun dalam kenyataanya, kehidupanya sudah mengakar di lingkunganya. Seseorang tersebut sudah sangat tergantung pada berbagai kehidupan sosial disekitarnya yang ada, terutama kaum wanitanya. Semakin tua mereka semakin rentan untuk di'cabut' dari ‘akarnya'. Fakta yang terjadi, pada saat mereka itu di pindahkan ketempat lain, maka bukan saja kehidupan ekonominya yang terganggu tetapi lebih-lebih pada kehidupan sosialnya. Seseorang tersebut menjadi terasing, yang semula merasa sangat familiar kemanapun tujuan perjalanan di lingkunganya menjadi harus berhati-hati atau bahkan menjadi kawatir. Nilai-nilai social seperti diatas inilah yang sering tidak diperhatikan, meskipun efek psikologisnya cukup besar.

Mengapa harus terjadi penggusuran ?
Banyak penggusuran terjadi di berbagai kota atau bahkan di kawasan pedesaan dan selanjutnya memberi dampak terjadinya ‘luka sosial'. Dalam hal ini, persoalan yang tertinggal sering sering bukan hanya luka yang bersifat sementara, tetapi bisa menjadi seumur hidup pada saat kehidupan mereka setelah menerima keputusan pemerintah yang diambil yang berdampak pada penurunan kualitas kehidupannya.
Kesemua hal diatas, pada hakekatnya terjadi karena adanya rencana pembangunan dari pemerintah (yang dapat juga dipelesetkan menjadi rencana titipan investor pada pemerintah). Kalau diruntut lebih lanjut, maka pertanyaan yang dapat diajukan dapat berupa "mengapa pemerintah merencanakan di atas tanah yang sudah dihuni penduduk ?"
Keadaan diatas menjadi tidak sederhana jawabnya, tetapi hal yang paling sering diungkapkan atau dijadikan sebagai ‘senjata' bagi pihak pemerintah berupa pernyataan ‘ SESUAI DENGAN TATA RUANG'.
Memang masih ada lain sebab yang dapat disampaikan oleh pemerintah, tetapi hal yang sering dijadikan alasan terjadinya penggusuran adalah kesesuaian dengan tata ruang diatas. Pertanyaan yang layak untuk terus ditelusuri dalam hal ini adalah " Apakah Tata Ruang yang ada mempunyai nilai-nilai objective yang terukur yang bermakna sama bagi semua pihak ? "
Dalam Undang-Undang Tata Ruang nomor 26 tahun 2007, dalam pasal 3 dinyatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional dengan :
- Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan
- Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia
- Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negative terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Secara teoritis, berbasiskan pada pasal 3 diatas selayaknya setiap dokumen Tata Ruang sudah harus mempunyai indicator-indikator capaian yang dapat diukur atau dinilai bersama. Dalam hal ini objectivenya menjadi jelas. Sehingga persoalan untuk mengkomunikasikan Tata Ruang kepada masyarakat menjadi lebih ‘komunikatip', lebih mudah diterima oleh masyarakat, tentunya bila ukuran harmonis, terpadu serta perlindungan fungsi diatas dapat dielaborasi lebih rinci lagi.
Akan tetapi sayangnya, yang terjadi baik dimasa lalu maupun saat ini setelah UU 26/07 lahir, hal diatas tidak pernah dilakukan.
Penyusunan rekomendasi satu rencana peruntukkan tanah lebih didasarkan pada ‘pengetahuan' si perencana yang tidak mudah di komunikasikan ke masyarakat. Setidaknya alasan atau latar belakang akademik mengapa satu rekomendasi peruntukkan tanah (landuse plan) hanya dimengerti oleh si perencana saja, dan tidak oleh masyarakat.
Pertanyaan sederhana yang sering diungkapkan oleh masyarakat umum yang berupa ‘MENGAPA DITANAH SAYA ? ‘ seringkali menjadi sangat sulit untuk menjawabnya secara objective (baca : jujur dan tepat tujuan). Pada saat hal itu terjadi, maka menjadi wajar bila terjadi pertentangan pendapat yang tidak berujung antara masyarakat pemilik tanah dengan pihak-pihak penguasa (berkepentingan).

Mengatasnamakan Tata Ruang dengan kualitas seperti digambarkan diatas itulah selanjutnya pengadaan tanah (baca: penggusuran) itu terjadi. Itulah situasi yang saat ini terjadi di seantero kawasan dimana ada pembangunan (fisik) di Indonesia.
Siapakah yang harus dipersalahkan ?
Bila tidak ada upaya untuk menindak lanjuti persoalan - persoalan yang diungkap diatas, maka tidak usahlah dipersoalkan apabila masyarakat akan selalu dirugikan dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan yang cenderung bermakna sebagai suatu penggusuran.

lebih detail ....

guritno - 0811 890978